Hari ini, dunia memperingati Hari Internasional Tanpa Toleransi terhadap Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (Female Genital Mutilation/Cutting – FGM/C). Peringatan tahunan yang jatuh pada tanggal 6 Februari ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran global tentang praktik FGM/C dan mendorong upaya penghapusan totalnya. Di Indonesia, meskipun prevalensi FGM/C tidak setinggi di beberapa negara Afrika, praktik ini masih ditemukan di beberapa komunitas, menimbulkan tantangan tersendiri dalam upaya perlindungan hak asasi perempuan dan anak.
Apa Itu Mutilasi Alat Kelamin Perempuan?
Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (FGM/C) adalah praktik tradisional yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh bagian eksternal alat kelamin perempuan atau menyebabkan cedera pada alat kelamin perempuan tanpa alasan medis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan FGM/C menjadi empat jenis utama, mulai dari pemotongan sebagian hingga pengangkatan total alat kelamin eksternal. Praktik ini diakui secara internasional sebagai pelanggaran hak asasi perempuan dan anak perempuan, serta memiliki dampak kesehatan fisik dan mental yang serius.
Situasi Global dan Upaya Penghapusan
Menurut data UNICEF, diperkirakan lebih dari 200 juta perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia telah mengalami FGM/C, dengan mayoritas kasus terjadi di 30 negara di Afrika dan Timur Tengah. Namun, praktik ini juga ditemukan di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia, serta di komunitas imigran di Eropa, Amerika Utara, dan Australia. PBB menargetkan untuk menghapuskan FGM/C pada tahun 2030 sebagai bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya pada tujuan kelima yang berfokus pada kesetaraan gender.
Praktik FGM/C di Indonesia
Di Indonesia, FGM/C dikenal dengan berbagai istilah lokal seperti “sunat perempuan” atau “khitan perempuan”. Praktik ini umumnya dilakukan pada bayi perempuan atau anak-anak dan seringkali dianggap sebagai bagian dari tradisi atau ritual keagamaan. Meskipun tidak ada data nasional yang komprehensif, beberapa survei menunjukkan bahwa praktik ini masih umum di beberapa daerah, terutama di pedesaan. Alasan yang sering dikemukakan untuk melanjutkan praktik ini meliputi tradisi budaya, keyakinan agama, dan kontrol terhadap seksualitas perempuan.
Dampak Kesehatan dan Hak Asasi Manusia
FGM/C tidak memiliki manfaat kesehatan dan dapat menyebabkan berbagai komplikasi serius, termasuk perdarahan hebat, infeksi, masalah buang air kecil, kista, komplikasi saat melahirkan, serta peningkatan risiko kematian bayi baru lahir. Selain dampak fisik, FGM/C juga dapat menyebabkan trauma psikologis, termasuk gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan stres pasca-trauma. Dari perspektif hak asasi manusia, FGM/C dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, melanggar hak mereka atas kesehatan, keamanan, dan integritas tubuh.
Upaya Penghapusan FGM/C di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi praktik FGM/C. Pada tahun 2006, Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat edaran yang melarang tenaga kesehatan melakukan FGM/C. Namun, pada tahun 2010, dikeluarkan peraturan yang memberikan pedoman bagi tenaga kesehatan dalam melakukan “khitan perempuan”, yang kemudian menuai kritik dari berbagai pihak karena dianggap melegitimasi praktik tersebut. Pada tahun 2014, peraturan tersebut dicabut, dan hingga kini, tidak ada regulasi khusus yang mengatur FGM/C di Indonesia.
Berbagai organisasi masyarakat sipil dan lembaga non-pemerintah juga aktif dalam upaya edukasi dan advokasi untuk menghapuskan FGM/C. Program-program tersebut melibatkan pendekatan berbasis komunitas, bekerja sama dengan tokoh agama dan pemimpin adat untuk mengubah norma sosial yang mendukung praktik ini.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Meskipun telah ada upaya signifikan, penghapusan FGM/C di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Kurangnya data yang komprehensif menyulitkan pemahaman tentang prevalensi dan distribusi praktik ini. Selain itu, norma budaya dan keyakinan agama yang mendukung FGM/C masih kuat di beberapa komunitas, sehingga pendekatan yang sensitif dan berbasis budaya diperlukan dalam program-program intervensi.
Peringatan Hari Internasional Tanpa Toleransi terhadap Mutilasi Alat Kelamin Perempuan pada 6 Februari ini menjadi momentum penting untuk memperkuat komitmen semua pihak dalam menghapuskan praktik berbahaya ini. Melalui edukasi, advokasi, dan penegakan hukum yang efektif, diharapkan generasi mendatang dapat terbebas dari FGM/C, memastikan hak setiap perempuan dan anak perempuan untuk hidup sehat dan bermartabat.